Rasanya, sudah ribuan kali aku melihat kucing. Atau jutaan kali. Tapi, rasanya ada semacam ‘kode etik’ dalam diriku yang akan memaksa untuk menyapa kucing-kucing tersebut. Terutama jika bertemu langsung entah di rumah, jalanan ataupun tempat lainnya. Bahkan, ketika naik motor, jika ada kucing aku akan menyapanya, dia menengok padaku dan kembali pada kesibukannya sendiri.
Entahlah, katanya jika orang jatuh cinta, dia tidak akan bisa memberikan alasan mengapa ia jatuh cinta. Jika ia dapat mengatakan mengapa, itu kalkulasi, bukan cinta. Kucing itu begitu lucu dan menggemaskan!
Beberapa tahun yang lalu, aku pernah berkhayal, bagaimana rasanya menjadi seekor kucing. Bisa berkeliaran kemana saja dengan bebasnya, lompat dari atap rumah ke rumah lainnya, tanpa beban pikiran seperti manusia. Tentu saja, saat itu aku sedang memiliki segudang permasalahan yang setiap manusia alami.
Mengenai kehidupan kucing jalanan yang liar dan penuh dengan petualangan, rasanya ada semacam ‘kode etik’ pada diriku, minimal untuk menyapa mereka. Lalu, jika kucing tersebut akrab dan mau berinteraksi pada manusia, aku akan memanggilnya dan mengusap-ngusapnya, lalu mengucapkan selamat tinggal, itupun jika aku sedang dalam keadaan terburu-buru. Jika aku sedang santai, aku menghabiskan 5-10 menit untuk mengusap-ngusapnya, terlepas seberapa kotor dan sakitnya dia. Bahkan, memberinya sedikit makanan, minimal makanan sisa seperti daging ikan pindang maupun daging ayam ketika aku sedang membawa makanan atau sedang makan. Itulah yang kunamakan ‘kode etik kucing’.
Yah, setidaknya, mungkin saja kucing tersebut akan membalas kebaikan hati kita, mungkin tidak secara langsung. Mungkin di Akhirat nanti, atau dibalas dalam bentuk kebaikan yang lain seperti kesehatan atau dipermudah saat sakaratul maut. Aku sendiri hanya mempraktikkan apa yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. untuk selalu berbuat kebaikan bukan hanya kepada manusia saja, namun kepada seluruh makhluk hidup termasuk kucing sekalipun.
Ada suatu kekhawatiran diriku pada kucing-kucing di jalanan ketika aku tidak bersama mereka. Apakah orang lain akan memperlakukan mereka sama dengan cara aku memperlakukan kucing-kucing tersebut? Tentu saja, tidak.
Banyak diantara manusia yang begitu membenci kucing. Menyiraminya air panas saat dia mencuri sepotong ikan di atas meja. Mengusir kucing tersebut ketika berjalan melewatinya, hanya karena khawatir terkena penyakit yang dibawanya, karena kucing jalanan tidak seperti kucing rumahan yang lebih bersih.
Bahkan, rasanya ingin aku mengumpat, memukul dan menghajar seorang pemuda habis-habisan karena melempar seekor kucing agar tidak masuk pada sebuah ruangan. Tidak masalah sebenarnya jika dilakukan secara sopan dan tidak menyakiti kucing tersebut, namun caranya sangat kasar! Son of a bitch!
Sebenarnya, apa salah mereka? Mencuri? Yah, sebenarnya tidak ada istilah mencuri dalam dunia hewan, dimanapun mereka hidup. Itu adalah cara mereka hidup. Insting mereka berkata untuk bertahan hidup. Mencuri ikan di atas meja, memburu tikus, hingga memakan makanan sisa di sampah adalah cara mereka bertahan hidup. Tidak jarang, mereka berkelahi dengan kucing lainnya karena berebut makanan sisa yang tidak seberapa. Tidak jarang, mereka juga berkelahi dengan kucing lainnya untuk mendapatkan kucing betina saat musim kawin tiba. Tidak jarang pula, untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya mereka berkelahi.
Manusia juga sungguh egois. Mereka tidak pernah protes pada kita yang membuat bising dunia ini dengan segala aktivitas kita. Ketika kita menggelar konser besar-besaran pada acara Malam tahun baru, mereka tidak protes, padahal mereka mungkin sedang menyusui anak mereka. Mereka juga tidak protes ketika kita berhura-hura dalam euforia malam takbiran, padahal saat itu mereka ingin beristirahat.
Tapi kita sebaliknya, manusia mengusir kucing yang sedang dalam masa birahi, yang berteriak mencari pasangan. Atau, ketika dua ekor kucing jantan berkelahi di halaman rumah, di tengah malam saat kita istirahat, kita mengeluh dan mengusir mereka, di saat yang sama mereka tidak mengeluh saat kita mengadakan konser besar-besaran yang jelas-jelas lebih berisik!
Manusia juga egois. Apa salahnya menyisihkan satu kepingan tulang ayam bekas atau tulang ikan, setidaknya untuk mereka makan? Atau kepingan daging utuh, jika dia mampu? Alih-alih memberinya tulang ayam bekas, manusia menendang kepala mereka karena terus mengeong meminta makanan bekasnya. Paling tidak, jika tidak suka kucing, berilah mereka tulang bekas tersebut! Jika tidak mau, jangan menendangnya, dasar ANJING! (Maaf jika kasar, namun aku sendiri ingin melampiaskan kekesalanku jika ada orang yang berbuat demikian di depanku)
Entahlah, aku selalu khawatir pada kucing di jalanan, terutama yang masih dalam masa menyusui, dan induknya entah kemana. Entah sedang mencari makanan untuk anaknya atau memang ditinggalkan induknya yang mungkin, meninggal tertabrak di jalanan. Tidak ada yang tahu.
Oh iya, manusia juga sungguh KEJI, berapa banyak diantara kita coba, yang menimal menguburkan kucing di jalanan yang tidak sengaja kita tabrak dengan kendaraan umum kita? Aku sendiri tidak meminta mereka untuk menangis saat pemakaman mereka, dan tidak perlu dimakamkan di San Diego Hills Karawang yang terkenal mahal tersebut, cukup di sebuah tanah di halaman rumah saja, dengan layak!
Beberapa tahun yang lalu, ketika seekor anak kucing terlindas mobil di halaman rumahku, aku memakamkannya sambil menangis. Membungkusnya dengan kain layaknya seorang manusia dan menggali kuburannya seorang diri sambil mengingat-ingat masa mungkin orang lain menyebutku cengeng atau girly, aku sendiri tidak peduli. Gelut weh jeung aing ANJING! Mun silaing teu tiasa resep ka ucing, tong nyiksa ka ucing! Ulah sok kitu, babalesna mah timana we, abdi mah ngan ngado’a ka Gusti Allah nu Maha Kuasa sing dibalesna ku si emeng weh. Timana weh dibalesna. (Sini, berantem aja lo sama gua! Kalo lo ga bisa suka pada kucing, jangan menyiksa kucing! Jangan suka begitu, pembalasannya bisa dari mana saja, gua hanya berdoa pada Allah Yang Maha Kuasa biar pembalasannya dari si “meong” itu sendiri. Balasannya bisa berupa apa saja).
Kualitas moral suatu bangsa bisa dilihat dari cara hewan-hewan diperlakukan di negara tersebut, Gandhi berkata. Memang benar. Di negeri ini, jangankan hewan, tapi manusia saja tidak diperlakukan secara manusiawi. Banyaknya pelanggaran HAM dan ketidakadilan di negeri ini.
Aku selalu khawatir pada anak-anak kucing, terutama yang kulihat tidak sedang bersama induknya atau sudah saatnya mandiri tidak bersama induknya, kucing-kucing liar yang sebatang kara menghadapi kerasnya dunia. Apa mereka akan baik-baik saja? Apa mereka dapat bertahan hidup dan memiliki anak suatu saat nanti? Apakah mereka sudah makan hari ini?
Maka, aku sendiri menanamkan ‘kode etik kucing’ tersebut pada diriku, minimal untuk menyapa kucing-kucing di jalanan, mengusapnya dengan penuh kasih sayang jika dia kucing yang akrab dengan manusia, bahkan menggendong dan memeluknya kalau dia merasa nyaman dan aman denganku. Bahkan, memberinya makan jika aku sedang ada rezeki, dalam arti membawa makanan.
Jumlah kucing di kota ini saja, setiap harinya bertambah. Namun orang yang sayang kucing, mungkin saja tidak bertambah. Kalaupun bertambah, jumlah kucing akan lebih banyak dibandingkan orang yang mencintai kucing. Mungkin perbandingannya adalah 1:1000. Hanya satu orang manusia diantara seribu orang manusia yang menyukai kucing dan peduli pada mereka.
Tentu saja, aku juga tidak menyalahkan orang-orang yang hanya menyukai kucing rumahan dengan bulu yang tebal, dimana mereka menghabiskan uang puluhan juta untuk perawatan mereka, mulai dari makanan hingga biaya lainnya. Kita hidup dimana gengsi lebih mahal daripada moral, akuilah.
Yah, memang secara logika kucing jalanan itu kotor, penuh bekas luka dan berpenyakit. Jangankan ke dokter hewan, untuk makan saja mereka mengobok-ngobok tempat sampah kok.
Tapi, mereka sendiri berusaha bertahan hidup di dunia yang kejam ini. Mereka rela ditendang manusia, untuk sepotong tulang ayam, untuk dibawa pada anak-anak mereka, di suatu sudut kota, dimana mereka aman dan hangat, beralaskan kardus dan tumpukan rongsokan untuk menghadapi dinginnya malam dan derasnya hujan. Ketika menulis hal ini pun, rasanya ingin sekali untuk menangis. Pada dasarnya, kucing yang berkeliaran di sekitar kita adalah kucing yang sudah berevolusi selama puluhan ribu tahun, sehingga akrab dengan manusia. Tidak seperti saudaranya macan, singa atau jaguar yang masih mengggap manusia itu musuh.
Aku pun sudah berniat menulis suatu tulisan tentang kucing seperti ini sejak lama. Sejak aku melihat potongan adegan di komik “Shaman King”, dimana Hao Asakura memungut seekor kucing bernama Matamune yang sekarat dan akan mati karena saat itu kehidupan di Jepang (sekitar 1000 tahun yang lalu) yang sedang dalam pertumpahan darah, sehingga sulit mendapatkan makanan karena tumpukan mayat manusia dimana-mana. Hingga akhirnya Matamune meninggal, namun tetap menjadi arwah yang mendampingi Hao Asakura. Bahkan, dia mengabdi pada keluarga Asakura selama 1000 tahun kedepan.
Mungkin bagi para penggemar kucing sepertiku, rasanya ingin menangis ketika membacanya. Mungkin jika bisa mengekspresikan perasaan mereka, kucing pun akan seperti Matamune. Apalagi jika kita merawat dan memungutnya di jalanan, dan membesarkannya seperti anak kita sendiri. Mungkin saja.
Dari apa yang kutahu, kisah para kucing belum ada yang sefenomenal ‘Hachiko’, anjing yang setia menunggu majikannya di stasiun kereta di Jepang, yang sudah dua kali difilmkan kisahnya. Mungkin,kucing mengekspresikan kesetiaan mereka pada majikannya dengan cara yang berbeda, aku yakin. Aku sendiri, merasakan hal tersebut.
Walau kucing yang sudah kurawat lebih dari 5 tahun tersebut tidak dapat berbicara, atau mengekspresikan dirinya seperti Hachiko, kita saling mencintai satu sama lain, dengan caranya sendiri. Seperti dalam film “Life of Pie”, dimana Richard Parker alias harimau bengal yang sudah menghabiskan waktu terdampar di tengah laut bersama anak bernama Pie, sang harimau tersebut mengekspresikan selamat tinggal pada Pie dengan caranya sendiri, dengan melompat dan berjalan menuju hutan belantara tanpa mengucapkan sepatah katapun karena dia memang hewan, ataupun menengok ke belakang, karena itulah cara dia mengekspresikan dirinya sebagai hewan.
Entahlah, boleh dibilang aku gila atau tidak waras, jika saja kucingku dapat bertransformasi menjadi seorang manusia, lengkap dengan jiwa, pikiran dan kenangannya besamaku, aku pasti akan memeluknya, bercerita sambil menangis tersedu-sedu sepanjang malam tentang kekonyolan kita berdua, saling jujur, sebenarnya apa sih maunya selama ini dan apa yang dia rasakan karena rasanya dia mengekspresikan dirinya dengan cara yang tidak kumengerti selama ini.
Kucing-kucing di jalanan pun, aku menganggapnya sebagai keluarga. Kucing juga kuanggap sebagian dari “keunyuan” dunia. Rasanya, ingin menghabiskan sisa hidupku hidup dengan puluhan kucing di rumahku. Rasanya damai sekali kehidupanku dan aku akan mati dengan cara yang damai pula. Entahlah, apa mereka merasakan hal yang sama denganku, para kucing? (Raden M. Wisnu)