Foto: Istimewa
“Hoammm,” beberapa mahasiswa tengah menguap di kelas siang itu. Yang lain sibuk menonton Youtube, bermain games, atau sekedar stalking foto artis di layar lima inci yang disembunyikan meja dan buku. Hanya mahasiswa deretan depan yang sibuk mencatat perkataan dosen, namun tak menjamin paham penjelasannya.
Saat ditanya apa yang dimaksud? mereka hanya mengatakan “Tidak tahu? Aku hanya perlu mengingat semua kalimat ini dan menjawab soal ujian,” jawab mereka dengan acuh. Lalu kita akan menemukan banyak dari mereka hadir dalam selebrasi wisuda lebih awal.
Sementara itu, dosennya, sibuk membaca catatan dan buku yang ada di meja, berharap mahasiswanya menulis apa yang ia baca dan ucapkan. Terkadang terbata bata, mengoreksi redaksi dari catatan yang ia tulis. Tapi malah semakin rumit. Ya, hanya membaca. Sesekali menjelaskan, tapi terlalu sensitif. Bila mahasiswa bertanya lebih jauh mengenai penjelasannya, mukanya langsung berubah masam.
Andaikan Friedrick Nietszche, dosennya. Mungkin akan menjelaskan sambil bercerita. Memaparkan pemikiran mendalam. Menjelaskan makna kemerdekaan bagi suatu negara dengan cerita-cerita perlawanan pada imperialisme.
“Bahkan dalam banyak kesempatan mungkin Nietszche memaparkan sesuatu seperti pendongeng. Mimiknya tiba-tiba berduka ketika bercerita tentang penindasan kaum borjuis. Menjadi penuh emosi, ketika memaparkan kebodohan orang yang sengaja dipelihara.” Ia membayangkannya dalam pikiran seperti potongan film.
Tentu saja ia membayangkan, pemaparan dosennya ini sangat logis dan realistis tapi bernyawa dalam setiap penuturannya. “Ah.. begitu menyenangkannya kelas itu,” ucapnya.
Ia melanjutkan khayalannya. “Sesekali Neitzecht akan berdebat dengan mahasiswanya. Mungkin ia kalah atau mungkin juga dia menang dalam perdebatan.” Tapi itu tak jadi masalah baginya.
Sebaliknya, tidak ada nyawa perlawanan dan pembaharuan di kelas Universitas Gawat Darurat (UGD). Tidak ada nyawa dialektis dan kritis. Di sana orang-orang lebih menyukai kelas tenang. Mengatakan bahwa semua baik-baik saja. “Kalian hanya perlu lulus kuliah dan menjadi, dokter, hakim, jurnalis atau ustadz yang menghasilkan uang dan hidup bahagia.” Mengatakan bahwa semua baik-baik saja, hiduplah dengan normal, jangan terlalu banyak perlawanan.
Bahkan terkadang, kelas menjadi ladang kampanye. Atau sekedar dakwah fanatisme pada satu golongan. Seringkali, ia juga melihat bagaimana seorang dosen yang intelek mengkultuskan satu tokoh. Hingga nalarnya tidak sehat, dan narasi yang dibawa membosankan.
Kira-kira begitu suasana kelas-kelas UGD. Perkuliahan yang selalu diisi penuh oleh mahasiswa. Tanda tangan kehadiran pun terisi. Meski kadang dosennya tidak nampak, berita acara selalu full tertanda tangan hadir (menandakan dosen tersebut hadir).
Seketika ia membayangkan Nietszche lagi. “Saya mengajarkan pada kalian agar berontak terhadap aturan yang ada. Saya mengajarkan pada kalian agar menjadi tuan atas segala situasi yang terlalu membosankan. Saya mengajarkan pada kalian untuk hidup dalam bahaya dan membakar dermaga di belakang,” mengutip dari voxpop.id.
Entah terpaksa atau memang merasa hal ini jalan yang benar. UGD mengikuti arahan Dinas Pendidikan ting-ting seperti budak dan majikan. “Jika ingin akreditasi universitas baik mahasiswa harus masuk kelas. Jangan membuat kegaduhan yang mencemarkan nama baik kampus.” Kalimat itu akan sering didengungkan pada setiap kelas. Hal inilah yang membuat mahasiswa pencari Nietszche di luar kampusnya justru dicekal dan dijegal.
“Ini kan demi kepentingan bersama, kalau akreditasinya bagus kan enak ke mahasiwa juga.” Kira-kira begitu bujuk rayu dosen dikelas. “Jadi ikutilah aturan yang ada dan cara mainnya.”
Di UGD, kebutuhan sumber daya manusia untuk industri lebih gawat darurat dibanding menciptakan intelektual organik. Sarjana yang mampu mendayakan masyarakat yang tidak berdaya dan tertindas. Mampu mengartikulasikan lingkungan dan ilmu pengetahuannya. Juga mampu memerdekakan dan melawan. (Ressy/SM)