Foto Illustrasi
Aku Burhanudin. Aku terlahir dengan segala keterbatasan, organ tubuh yang tak sempurna serta keluarga yang tak lagi utuh. Keluarga ku satu-satunya adalah Tiara, dia adik angkat perempuan ku berusia enam tahun. Kegiatan harian kami mencari recehan dan menghibur pengguna jalan dengan menari serta bernyanyi diperhentian lampu merah, meskipun sebenarnya tak pernah ada yang memperhatikan pentas jalanan kami itu.
Awalnya,sebelum hal ini aku berpikir bahwa ternyata Tuhan itu tak adil pada umat-Nya, pilih kasih terhadap umat-Nya. Kenyataannya, orang lain diberikan organ sempurna nan utuh sedangkan aku tidak. Anak lainnya memiliki ayah serta ibu sedangkan aku tidak, anak lainnya diberikan sebuah kebahagian,keceriaan, dan cinta dari kedua orang tuannya dan aku? Jangankan untuk itu, untuk melihat mereka pun aku tidak diberikan kesempatan oleh-Nya. Tapi ternyata apa yang ingin aku ketahui selama ini telah Tuhan berikan jawabannya. Aku tahu apa yang sebenarnya terjadi selama ini, aku pun akan menceritakan semuannya kepada kalian.
Sore itu kota Bandung sedang di guyur hujan, terpaksa pada saat itu adik ku harus menghentikan pentas seni nya di lampu merah dan berlari untuk berteduh. Oh ya, Bukan kah menari juga adalah sebuah seni? Kalo begitu tak salah bukan bila aku mengatakan bahwa aksi adikku yang manis ini adalah sebuah pentas seni juga. Setidaknya bagiku dan adikku sendiri,meskipun mungkin tidak bagi mereka yang merasa terganggu serta risih dengan apa yang selalu kami lakukan. Tapi kami tak peduli, yang kami pedulikan hanyalah bagaimana caranya mendapatkan uang recehan yang sangat banyak agar hidup kami menjadi lebih baik dan kami pun kaya raya, haha itu mustahil!.
Saat hujan semakin membesar kami berlarian untuk mencari tempat berteduh, tak jauh dari lampu merah kami memutuskan untuk berteduh di salah satu tempat pengisian bahan bakar kendaraan (SPBU). Tak ada sedikit pun keluhan yang di ucapkan oleh Tiara hari ini,dia sungguh menikmati hari ini dan terlihat senang memainkan air hujan yang turun dari paralon di ujung genting SPBU.
Beberapa saat kemudian, tiara memutarkan kepalanya empat puluh lima derajat untuk memastikan bahwa abangnya baik-baik saja. Dia tersenyum dan kembali ke posisi semula lalu berdiri menghampiri, dia duduk disamping tongkat milikku. Tiara ber dehem seolah membenarkan suaranya agar tidak fals saat bernyanyi nanti. Aku mencoba bertanya lebih dulu agar suasananya tidak terasa canggung.
“kenapa berhenti memainkan airnya?apa Tiara kedinginan?” aku bertanya dengan suara lembut sebari memindahkan tongkat kakiku ke sisi sebelahnya.
Tiara menggeleng, dia terlihat tampak resah dan takut untuk berbicara, tapi pada akhirnya dia memberanikan diri untuk bertanya suatu hal yang mebuat aku pun merasa ketakutan.
“Abang, mengapa Tia tak punya ayah dan ibu?” Tanya Tiara yang langsung menundukan wajahnya dengan suara agak sedikit bergetar, namun polos.
Betapa mengejutkan dan menakutkannya pertanyaan itu, apa yang dia tanyakan? Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku jawab? Pertanyaan itu tidak pernah ada jawabannya sampai kapan pun. Ini benar-benar bagaikan mimpi buruk. Jangan kan untuk menjawab pertanyaannya,untuk tahu asal keberadaan ku sendiri saja aku tidak mengetahuinya.
Tiara mencoba curi-curi pandang kearah ku menunggu jawaban atas pertanyaannya, dia terlihat resah sembari memainkan kukunya yang panjang dan hitam. “kkrrrruukkk…..krruuukkk..” suara itu berasal dari perut Tiara. Dia bersikap salah tingkah, tiara langsung menyembunyikan kedua tangannya di atas perutnya. “Tiara lapar?,” aku melirik kearah wajah Tiara yang terlihat lesu, ia mengangguk pelan. Aku meraih tongkat yang terbuat dari kayu berwarna coklat kotor, tongkat ini lah yang menjadi teman berjalan ku selama empat belas tahun ini,Tiara mencoba membantuku untuk berdiri.
Apa yang harus aku katakan ? Tiara bagaikan seorang malaikat kecil yang datang untuk memberikan segala ke ajaiban yang ada di dunia ini. Sungguh, aku tidak akan membiarkan malaikat ini menangis sedikitpun. Aku mengusap rambutnya yang kusam, ini membuat hati ku semakin teriris dan mengingat kejadian dimana aku menemukan Tiara. Melihat kejadian dimana dia sengaja ditelantarkan.
Aku segera meghapus air mata ku yang secara tidak sadar sudah membeludak sejak tadi dan segera menuntun tiara untuk masuk kedalam sebuah warung sederhana tempat biasa kami beli makanan. Tiara tersenyum lebar saat melihat berjejeran makanan didepan matannya. Pemilik warteg ini sangat baik, terkadang satu atau dua kali pemilik warung ini selalu memberikan bonus lauk-pauk untuk aku dan Tiara.
Aku tertawa pelan ketika melihat tingkah Tiara yang begitu lucu. Aku sering memanggil pemilik warung itu dengan sebutan “Mamak”. Mamak tahu betul makanan kesukaan aku dan Tiara, terkadang aku tidak segan untuk membantu mamak mencuci piring kotor dan melayani pelanggan. Mamak sangat baik kepada kami, dia sudah menganggap kami sebagai anaknya sendiri, terutama dengan Tiara.
Pada hari itu aku mulai mengetahui segalannya. Saat warung sedang sepi dan Tiara pergi untuk bermain, mamak menghampiri ku dengan aura yang berbeda, tidak ada senyuman di wajah mamak. “Burhan, mamak ingin meceritakan suatu kejadian yang penting, sangat penting”, mamak menggenggam kedua telapak tangan ku, terasa begitu kasar kulit jari-jari mamak. “Burhan, apa kamu ingat kejadian enam tahun silam? kejadian yang kamu pernah ceritakan pada mamak,dimana kamu menemukan Tiara?”, aku mengangguk pelan sambil sedikit mengingatnya kembali.
“Burhan, mamak ingin mengatakan sesuatu tentang Tiara adik mu…”Ucapan mamak terhenti, mamak menunduk sekejap, dia memainkan jari-jarinya yang kasar tak lama setelah itu air mata mamak keluar sangat deras. Apa maksud mamak? Aku mulai tidak paham dan mamak mulai bercerita tentang kejadian enam tahun silam yang membuatnya menangis saat ini.
“kamu ingat bukan gadis di halte yang membawa kotak kardus besar di malam itu? Gadis yang memakai gaun merah yang berjalan pincang yang memberikan mu tongkat kayu ini? Dan menyimpan kotak kardus itu di gerobak sampah?” ucapan mamak berbelit-belit tapi aku cepat-cepat meng iya kan apa yang di ucapan mamak. “Gadis itu anak ku Burhan. Mamak yang menyuruh gadis itu membuang bayi kecil tak berdosa, mamak tak menginginkan anak itu ada di keluarga bahagia mamak!”
Saat itu juga tangisan mamak benar-benar membludak. Dan aku? Entah mimpi buruk apa lagi yang sedang menghantam kehidupan ku di hari ini, dimana aku sedang tidak tertidur. Dengan suara sesegukan mamak terus menceritakan alasan ia membuang Tiara.
Tiara dihasilkan dari hubungan tanpa pernikahan anak mamak dankekasihnya. Saat tahu mengenai kehamilan anaknya, mamak mengasingkan diri bersama Risa anaknya, ke Bandung. Keluarga dan kekasihnya Risa tak mau bertanggung jawab, saat Risa melahirkan mamak berencana kembali Ke Jakarta dan menyuruh Risa membuang bayinya, meskipun Risa enggan. Setelah beberapa hari kejadian mereka kembali ke Jakarta dan pada saat itu Risa terlihat sangat murung dan dia megakhiri takdirnya.
Di balik pintu Tiara terdiam sejenak, entah ia mendengar atau tidak, entah ia mengerti atau tidak apa yang sedang kami bicarakan. Badan mungilnya menghampiri mamak, memeluk, mencium kening wanita paruh baya tersebut. “Terima Kasih Mak,” ucapnya. (Intan/SM)
-Tamat-